Thursday, December 1, 2016

Diary Tekutuk


Diary Tekutuk


Suasana siang ini cerah sekali. Terlihat semua murid sedang memanfaatkan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya. Mungkin agar pada saat pelajaran selanjutnya dimulai mereka tidak akan merasa tegang. Banyak murid yang berlalu lalang di depan kelasku dengan bebasnya. Namun tidak denganku.

Hanya karena saat pelajaran pertama aku mendapat masalah, aku jadi harus berdiri di depan kelas sampai jam pulang sekolah nanti. Dan setelah hukuman ini selesai, masih ada satu hukuman lagi yang mengungguku. Dan hukuman itu adalah, membersihkan halaman sekolah. Benar-benar menyebalkan. Padahal masalah yang tadi kan bukan salahku.
“Lucy, maaf ya.” Sesal Rani sambil menatapku. “Kita kan friend. Masa mau ngambek terus?” ia menarik-narik tanganku.
“Temen sih temen. Tapi kalau kena hukuman jangan ngajak-ngajak dong!” jawabku ketus.
“Iya-iya. Maaf deh.” Rani terus menatapku dengan wajah seperti akan menangis hingga membuatku merasa iba. Sahabatku yang satu ini memang tau bagaimana caranya membuatku berhenti marah padanya.

Saat sekolah sudah terlihat sepi, aku dan Rani masih menyapu di halaman sekolah. Padahal jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah dua. Tapi sampah di halaman belum habis juga. Huh! Benar-benar menyusahkan.
“Hore! Akhirnya kerjaan kita selesai juga.” Kataku dengan sangat senang setelah melihat halaman yang sejak tadi kami bersihkan telah bersih.
“Oh, iya Lucy. Aku harus pulang dulu nich. Soalnya setengah jam lagi aku ada les bahasa inggris. Kamu gak papa kan kalau harus buang sampah sendiri?” tanya Rani.
“Hm… gimana ya?” aku berpikir sejenak. “Ya udah deh. Nggak papa.” Kataku sambil tersenyum tipis.
“Ok. Kalau gitu aku duluan ya!” Rani beranjak pergi setelah mengambil tasnya di kelas.
Sebenarnya sih membawa tempat sampah ini sendirian pasti akan terasa berat. Tapi karena Rani sering membantuku, jadi aku akan menganggap ini sebagai balas budi.

Aku menjinjing tempat sampat itu menuju container. Karena containernya sedikit tinggi, aku jadi harus mengangkat tempat sampah itu agar bisa mengeluarkan isinya. Benar-benar berat. Lenganku jadi terasa sakit. Setelah tempat sampah itu kosong, aku segera melangkahkan kakiku untuk menuju kelas. Namun setelah beberapa kali, aku menghentikan langkahku. Kini pandanganku tertuju pada sebuah buku berwarna biru yang ada di dekat container. Aku meletakkan tempat sampah yang kubawa lalu memungut buku itu.
“Ini diary?” tanyaku sambil membuka satu-persatu lembaran buku itu. Sepertinya buku ini sudah dibuang. Kulihat tulisan berwarna merah yang tertulis dalam buku itu. Susah payah aku membaca tulisan itu tapi tetap tak bisa. Tita yang digunakan sangat tipis juga telah luntur seperti terkena air.
“Ya ampun. Udah jam segini!” seruku setelah melirik jam tanganku yang telah menunjukkan pukul 02.05. Aku meletakkan buku itu ke tempatnya semula lalu menjinjing tempat sampah dan berlari menuju kelas.

Setelah mengunci kelas, aku bergegas pergi meninggalkan sekolah. Tapi saat sampai di gerbang, langkahku terhenti. Aku teringat dengan buku diary yang kutemukan tadi. Tiba-tiba perasaan aneh menghampiriku. Rasanya ingin sekali aku mengambil dan membawanya pulang. Tapi yang aku tau itu hanyalah diary yang telah lusuh dan terbuang.

Tanpa berpikir panjang aku segera berlari menuju container. Meski rasa lelah sudah kurasakan sejak tadi, aku tetap memaksakan diri untuk berlari lebih cepat. Namun saat sampai, aku sudah tak menemukan diary itu lagi.
“Aneh. Padahal tadi aku sudah meletakkannya disini? Apa mungkin ada orang lain yang telah memungutnya?” aku bertanya-tanya. Aku berusaha mencari diary itu disekitar tempatku meletakkannya tadi.
Akhirnya aku menemukannya. Kulihat diary itu berada di dalam tempat sampah yang ditinggalkan kelas lain. Mungkin ada orang lain yang menemukannya setelah aku pergi lalu membuangnya karena menganggapnya sampah. Jika itu benar, beruntung orang itu tidak mengambilnya.

Sore ini aku duduk termenung di dekat jendela. Ada banyak hal yang kupikirkan hingga membuat kepalaku terasa pusing. Salah satu hal yang aku pikirkan adalah tugas Bahasa Indonesia yang akan dikumpulkan besok. Tapi masalah utamanya bukan itu. Yang membuat kepalaku pusing adalah bagaimana caranya aku mengerjakan pr kalau bukunya saja tidak ada? Salahku juga sih karena tak sengaja menghilangkannnya.
“Oh, ya! Diarynya!” seruku setelah teringat dengan buku diary itu. aku mengambil tasku untuk mencarinya juga sebuah pulpen yang akan kugunakan untuk menuliskan pengalaman yang aku alami hari ini.
“Dear diary. 3 hari yang lalu aku nggak sengaja menghilangkan buku Bahasa Indonesiaku. Gimana ya? Padahal besok ada tugas yang harus kubawa. Mana gurunya galak lagi. Masa aku mau dihukum lagi kaya tadi?
Andai aku bisa, aku akan meminta agar Pak Ahmad tidak bisa datang untuk mengajar besok. Apapun alasannya aku ingin dia tidak bisa mengajar. Dan satu lagi permintaanku. Aku ingin agar bukuku bisa ketemu secepatnya.”
Ya… walau pun aku tau kalau menulis diary itu nggak akan bisa menyelesaikan masalahku, tapi setidaknya aku bisa merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Soalnya aku bisa menceritakan masalahku walau hanya pada buku diary. Ini masih lebih baik dari pada aku harus bercerita pada ibuku. Yang ada nanti aku malah dimarahi.

Hari ini kelas ramai sekali. Benar-benar mirip pasar. Kulihat teman-temanku terus mondar-mandir untuk menghampiri temannya yang ada di bangku lain. Sementara aku masih berdebar-debar sambil melihat kearah pintu karena takut kalau Pak Ahmad tiba- tiba datang dan langsung memeriksa pr-nya. Duh… nggak bisa kubayangkan human apalagi yang akan menimpaku hari ini.
“Woi! Kok bengong?” Rani berteriak tepat ditelingaku hingga membuatku kaget.

Aku menatapnya kesal. ”Ih, ganggu orang aja!” gerutuku kesal. Suda pagi-pagi stress, dikagetin lagi. Gimana gak tambah stress?
“Iya deh, aku minta maaf.” Katanya setelah duduk disebelahku.
“Oh, ya. Pak Ahmad mana? Kok dari tadi gak kelihatan?” tanyaku penasaran.
“Kamu gak tau?” Rani menatapku serius.
“Apa?”
“Hari ini tuh Pak Ahmad nggak bisa ngajar. Katanya sih lagi sakit.”

Aku tertegun mendengar jawaban Rani. “Sakit?” batinku. Perasaan kemarin Pak Ahmad masih bisa mengajar di kelas sebelah. Kok sekarang tiba-tiba sakit ya? Tapi sudahlah. Bukankah itu artinya ini adalah hari keberuntunganku? Dengan begini aku tidak akan kena hukuman. Setidaknya aku masih punya waktu seminggu lagi untuk menemukan buku itu.
“Bosen nih. Main yuk!” ajak Rani.
“Main apa?”
“Pancasila ada lima dasar tapi pakai lempiran.”
“Ok. Setuju.” Aku membuka tasku untuk mengambil buku tulis untuk mendapat selembar kertas. Tapi bukannya mendapat selembar kertas, aku malah mendapatkan benda yang kucari selama ini.
“Ini kan?” tanyaku sembari menatap buku Bahasa Indonesiaku yang kini ada didalam tasku. Tapi kenapa bisa ada disini? Bukankah aku belum bisa menemukan buku ini? Ah, pasti ini hanya kebetulan saja.

Setiap hari aku terus menulis semua masalah yang aku alami dalam buku ini. Entah itu menyenangkan atau menyedihkan aku tetap tak memperdulikannya. Tapi setelah mengisi lembaran-lembaran diary ini, aku menyadari satu hal, yaitu setelah aku menulis permintaan dalam buku diary ini, maka beberapa saat kemudian permintaanku pasti terkabul. Sejak menyadari hal itu aku terus menulis semua permintaanku dalam buku diary itu. Karena aku yakin kalau permintaanku pasti akan terkabul.
Saat aku bertemu dengannya, dadaku selalu terasa berdebar-debar. Saat melihat senyumnya, hatiku terasa berbunga-bunga. Dan saat mendengar suaranya, hatiku merasakan kedamaian. Dia adalah orang yang membuat hariku menjadi indah karena dia telah membuatku merasakan cinta.

Ditempat ini aku selalu bisa melepas semua rasa lelahku. Saat melihat langit dari jendela kamar, rasanya semua rasa lelah itu hilang begitu saja. Apalagi setelah aku memiliki buku diary itu. Senang sekali rasanya kalau semua permintaanku bisa terkabul setiap hari. Hanya saja lembaran buku diary ini tidak akan bisa mengabulkan semua permintaanku yang memiliki banyak harapan ini. Tapi aku tak peduli. Meski lembaran buku ini hanya tinggal 3 lembar, tapi aku akan tetap menuliskan permintaanku yang satu ini.
“Dear diary. Sejak dulu aku menyukainya. Saat dia ada didekatku, rasanya ingin sekali aku mengatakan kalau aku menyukainya. Tapi kenapa ya selalu tak bisa? Setiap kali aku ingin mengatakannya, rasanya lidah dan bibirku jadi kaku hingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Dear diary. Aku harap dia juga punya perasaan yang sama denganku. Jika itu benar, aku ingin sekali dia mengungkapkan perasaannya padaku. Dan saat dia mengatakannya, aku harap aku juga bisa mengatakan kalau aku juga menyukainya.”
Semoga harapanku yang satu ini bisa terkabul seperti harapanku sebelumnya. Tapi kenapa aku merasa tidak yakin. Padahal setiap menulis harapan yang lain, aku selalu yakin kalau harapanku itu akan terkabul. Kenapa sekarang tidak? Apa karena aku terlalu gugup?
Keesokan harinya harapanku terkabul lagi. Saat pulang sekolah, tiba-tiba Alex menghentikanku sebelum aku keluar dari kelas. Awalnya dia menatapku penuh keraguan. Lalu tiba-tiba ia mengatakan kalau dia menyukaiku. Aku sungguh merasa senang. Tanpa ragu aku menjawab kalau aku juga menyukainya. Tapi tak seperti biasanya. Hari ini aku bisa mengatakan hal itu dengan sangat mudah. Kini aku merasa ini adalah hari terindah dalam hidupku. Ini semua berkat buku diary itu. Aku jadi merasa menjadi orang paling beruntung karena pernah memiliki buku diary itu.
Dengan langkah yang terasa ringan aku melangkahkan kaki menuju rumah. Itu semua terjadi setelah Alex menyatakan perasaannya padaku.

Kubuka pintu rumah. Tak seperti biasanya. Hari ini rumah kelihatan sepi sekali. Padahal biasanya ada ibu yang selalu bersantai sambil menonton tv diruang tamu. Tapi kenapa hari ini sepi sekali ya?
Aku terus menunggu di rumah. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.30 tapi tak ada seorang pun yang datang. Bahkan ayah yang harusnya sudah pulang bekerja juga belum datang. Sebenarnya mereka kemana sih? Membuatku khawatir saja.
Tiba-tiba aku mendengar suara motor dari luar disusul dengan suara pintu gerbang yang terbuka. Karena penasaran, aku segera berlari keluar untuk melihat siapa yang datang.

Kulihat ibu berlari dengan sangat terburu-buru. Sementara diluar ada seorang wanita yang tak kukenal sedang menunggu ibu dengan motornya.
“Ibu dari mana? Kok wajah ibu pucat?” tanyaku cemas.

Ibu menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat basah karena air matanya yang mengalir dengan deras. “Ayahmu!” kata ibu dengan suara sesak. Sepertinya ia sudah menangis terlalu lama.
“Ada apa dengan ayah?” tanyaku semakin panik.
“Ayahmu kecelakaan. Sekarang keadaannya sedang kritis.” Ibu menangis semakin keras lalu memelukku dengan sangat erat. “Ibu akan kembali ke rumah sakit.” Kata ibu setelah melepaskan pelukannya. Ia mengambil sebuah foto keluarga yang ada di ruang tamu. Setelah itu, ia berlari keluar menyusul temannya.
“Aku ikut!” teriakku berusaha menghentikan ibu. Ia tak mendengarku. Motor yang ditumpanginya telah melaju dengan sangat cepat.
“Kenapa ini bisa terjadi?” kataku sambil terus menangis. aku ingin sekali nyawa ayah terselamatkan. Tapi bagaimana caranya?
“Aku ingat! Diary itu pasti bisa membantuku!” seruku. Tanpa memmbuang waktu aku segera berlari ke kamar dan mengambil diary itu. Setelah itu, aku segera menuliskan permintaan kalau aku ingin ayahku selamat.
Tiba-tiba lembaran diary itu berubah warna menjadi merah. Saat diary itu masih ada di genggamanku, tiba-tiba cairan berwarna merah membasahi tanganku. Warnanya mirip sekali dengan darah. Aku sangat takut. Tanpa berpikir panjang aku melemparkan diary itu ke lantai.

Gumpalan asap muncul di kamarku. Lama-lama bentuknya menyerupai wujud manusia. Tak sampai 1 menit gumpalan itu berubah. Dan yang membuatku terkejut adalah, gumpalan itu kini berubah menjadi sosok seorang pria yang tak kukenal.
“S-siapa kau?” tanyaku gemetar.
“Aku? Namaku Virgo. Aku adalah pemilik diary ini sebelum kau.” Jawabnya sambil mendekat kearahku.
“K-kenapa kau b-bisa ada d-disini?”
“Aku akan menjelaskan tentang buku diary ini padamu.” Katanya yang membuatku tak mengerti. “Dulu aku juga sama sepertimu. Karena diary ini bisa mengabulkan semua permintaanku, aku terus menggunakannya sampai lembar terakhir. Saat aku menulis di lembar terakhir itulah aku mengerti kalau diary ini bukanlah diary yang hanya bisa mengabulkan permintaan pemiliknya, tapi diary ini juga memiliki kutukan.” Jelasnya panjang lebar.
“K-kutukan?” aku masih belum mengerti.
“Iya, kutukan bagi siapa saja pemilik diary ini, maka orang itu akan menghilang dari dunia ini setelah mengisi lembar terakhir. Tapi orang itu tidak mati, melainkan terkurung dalam diary ini. Didalam diary itu ada banyak sekali siksaan. Disana kau akan merasa sangat kesakitan karena kau masih menjadi seorang manusia. Lalu jika kau ingin keluar dari dalam diary itu, maka kau harus mencari orang untuk menggantikanmu. Dengan kata lain orang itu akan dijadikan korban selanjutnya. Hanya saja saat kau telah berhasil keluar, wujudmu bukanlah sebagai manusia, melainkan sebagai roh. Itu artinya kau sudah mati. Dan sekarang giliranmu Lucy. Sama seperti lembar yang tersisa dalam diary itu. Sisa hidupmu hanya tinggal 2 tahun lagi. Karena setiap kau mengisi satu lembaran diary ini, maka itu artinya kau mengurangi satu tahun sisa hidupmu sendiri.” Sambungnya.
“Tapi aku belum mengisi lembar terakhir.”
“Itu dia masalahnya.” Kata Virgo sambil mengambil buku diary itu. “Didalam diary ini kau baru saja membuat kesalahan.”
“Kesalahan.”
“Yap. Kesalahan itu sangat fatal. Karena kesalahan itu sama saja artinya dengan mengisi lembar terakhir diary ini.”
“Memang apa salahku?”
“Kau telah membuat permintaan yang tak bisa dikabulkan oleh diary ini. Yaitu, meminta buku diary ini untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Itu artinya kau juga telah bersedia menukarkan nyawamu dengan nyawa orang yang ingin kau selamatkan. Tapi kau masih bisa membatalkan permintaan itu dengan membakar lembaran ini. Tapi sisa hidupmu akan berkurang setengah tahun.”
“Kalau begitu berikan saja nyawaku pada ayahku!” kataku sambil menangis.
“A-apa?” Virgo kelihatan kaget setelah mendengar pernyataanku. “Tapi dalam diary ini masih ada 1lembar lagi. Kau masih bisa membuat permintaan yang lebih baik daripada kau harus memberi nyawamu untuk orang lain.” Virgo berusaha mengubah pikiranku.
“Lalu apa untungnya bagiku? Bukankah sama saja? Jika aku terus menulis di buku diary ini maka itu artinya aku mengurangi sisa hidupku. Lalu apa bedanya kalau aku memberi nyawaku pada ayahku yang selama ini selalu menjagaku?” kataku dengan sangat yakin.
“Apa kau yakin?” Virgo berusaha memastikan.
“Ya. Aku yakin dan benar-benar yakin.” Jawabku mantap.
“Baiklah. Kalau begitu sekarang peganglah tanganku.” Virgo mengulurkan tangannya. Aku menggengga tangannya yang dingin. “Sekarang aku akan memasukkanmu dalam diary ini. Aku jamin ayahmu akan selamat.” Sambungnya.
Cahaya putih menyinari sekelilingku. Tiba-tiba tubuhku terasa lebih ringan dari sebelumnya. Kulihat tubuhku berubah menjadi titik-titik cahaya yang bergerak masuk ke dalam diary itu. Semakin aku masuk ke dalamnya, lembaran buku diary itu berubah menjadi putih sama saat pertama kali aku menemukannya. Sementara semua hal yang kutulis selama ini hilang begitu saja. Hal itu terus terjadi sampai jiwaku benar-benar menghilang dari dunia ini.

4 hari kemudian…
Diary ini kembali lagi ke tempatnya semula. Tempat dimana Lucy menemukannya, yaitu di dekat container sekolah. Meski Lucy sudah terkurung dalam diary itu, tapi kutukannya tidak akan berhenti. Kini diary itu ditemukan lagi oleh orang lain. Lucy yang terkurung dalam diary itu benar-benar terkejut setelah melihat pemilik diary yang berikutnya. Karena orang itu addalah Rani sahabatnya sendiri. Kini Lucy hanya bisa berharap agar Rani tidak mengalami hal yang sama dengannya. Karena dia tak ingin, akan orang lain yang menjadi korban selanjutnya. Apalagi jika itu adalah orang yang sangat ia sayangi.

No comments:

Post a Comment