Thursday, December 1, 2016

Pensiun? Mana Bisa


Pensiun? Mana Bisa


Suasana kelas akhir-akhir ini selalu lebih tenang dari biasanya. Di hari-hari lain, berbagai macam suara dapat dengan mudah didengar dari ruang guru yang hanya berjarak 5 meter, mulai dari celotehan ringan hingga tawa membahana akibat ulah lucu salah satu teman sekelasku. Biasanya keributan itu akan diakhiri dengan pelototan dari sang guru, atau yang lebih parah, hukuman bagi seluruh siswa. Tapi kini, semua itu tidak terjadi lagi.

Tidak, karena kami sudah lulus.
Setelah selesai mengikuti rangkaian Ujian Nasional dan Ujian Sekolah, tidak banyak siswa kelas IX yang masih ingin berlama-lama di sekolah. Kelasku adalah salah satu contoh nyata. Tiap harinya, paling banyak hanya sekitar lima belas orang yang hadir. Itu pun kebanyakan laki-laki semua, karena mereka berniat main game lewat laptop mereka. Katanya sih, main game begitu enaknya ramai-ramai.
“Kalau di rumah sih nggak seru.” Begitu kata Ivan setelah kutanya mengapa dia tidak bermain di rumahnya saja.

Sisanya, yah, orang-orang yang tidak punya kegiatan lain, baik di rumah maupun di sekolah. Salah satunya ya aku. Kalau aku diam di rumah, aku pasti kesepian karena jam segini orang-orang rumah masih sibuk. Orangtua kerja, adik-adik sekolah. Lebih baik rasanya kalau diam di sekolah saja. Setidaknya masih ada teman-teman, walau memang tidak banyak.
“Hei, ngapain tidur jam segini? Masih pagi!”

Aku mengangkat wajah dari atas meja. Mungkin dia mengira aku sedang tertidur, padahal aku hanya sedang menelungkup karena bosan.
“Aku nggak tidur kok.” Kilahku. “Aku bosan.”
“Mau nonton film lewat laptop-ku? Aku punya film bagus. Kita ajak yang lain juga.”
“Boleh aja.”

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan gontai mengikuti langkahnya. Ia memanggil beberapa teman yang nampak sama bosannya dengan diriku. Seketika wajah mereka menjadi cerah. Aku mulai bertanya-tanya apakah tadi raut wajahku juga seperti itu.
“Film apa yang kamu punya, Den?” Tanya salah seorang temanku.
“Hachiko.” Jawabnya sambil meletakkan laptop-nya ke atas meja. “Ada yang udah pernah nonton?”

Aku tahu film itu. Ceritanya tentang seekor anjing Akita yang sangat setia pada tuannya, sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang. Sudah lama aku ingin menontonnya, dan aku pernah mengatakan hal itu padanya.
“Kenapa kamu bisa punya film Hachiko?” Tanyaku.
“Kan kamu pernah bilang kalau kamu ingin menontonnya. Kamu lupa?” Ujarnya sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum. Begitulah Denise. Ia memang sahabatku yang paling baik.
***

Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku hampir selalu kesulitan untuk tidur akhir-akhir ini. Kurasa itu karena aku sedang banyak pikiran. Memang aneh, padahal aku baru saja lulus dan pencapaianku juga tidak bisa dibilang tidak memuaskan. Remaja normal lainnya mungkin justru sangat antusias dalam menjalani masa-masa seperti ini. Masa-masa bebas dari jeratan tugas dan ulangan.
Yang kupikirkan sebetulnya adalah mengenai teman-temanku.
Hampir separuh siswa seangkatanku memilih melanjutkan sekolah ke tempat yang sama, sebuah SMA yang memang menjadi favorit di kotaku. Anehnya, aku justru tidak berminat ikut bersekolah di sana. Aku punya kecenderungan untuk tidak mengikuti tren, mungkin karena aku memang orang yang aneh. Aku dan segelintir siswa lainnya memilih sekolah lain, yang bisa dikatakan sebagai favorit nomor dua. Aku sedih karena akan berpisah dengan sahabat-sahabatku yang telah bersama-sama menjalani tiga tahun yang penuh kenangan.
Err, mungkin juga karena aku akan berpisah dengan Denise.

Beberapa minggu setelah angket pemilihan sekolah dibagikan, aku benar-benar marah dan kecewa padanya. Awalnya kami sudah sepakat untuk pergi ke sekolah yang sama. Aku senang sekali. Sudah terbayang di benakku bahwa kami akan menghabiskan tiga tahun lagi bersama-sama. Tapi, di hari pengumpulan angket, aku melihat angket miliknya tidak sama denganku. Itu adalah angket dari sekolah favorit incaran teman-temanku. Aku tidak menyangka dia bisa setega itu membohongiku.
“Kamu bilang kamu akan pergi ke sekolah yang sama denganku!”
“A, aku berubah pikiran…”
“Kenapa?”
“Orangtua dan nenekku bilang, aku sebaiknya masuk ke sekolah lain yang lebih dekat.”
“Kalau kita pisah sekolah, kita nggak bisa sering-sering ketemu lagi, Denise! Siapa yang akan ngajarin aku matematika lagi, Den…?”
“Yah, jangan sedih begitu dong. Kita kan cuma terpisah sedikit aja. Kamu kan pintar, belajar matematika pasti bukan hal yang sulit buat kamu…”
“Dasar pembohong!”
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku memang sangat bodoh dan egois waktu itu. Memangnya aku ini siapa, sih, sampai-sampai merasa berhak untuk mengatur sekolah mana yang harus dia masuki?
Tapi tetap saja, aku merasa sedih. Sahabat seperti itu tidak seperti sandal yang selalu ada dua. Sahabat seperti itu munculnya mungkin cuma sekali seabad. Sahabat yang benar-benar mengerti tentang kita. Yang murni sahabat, tidak mengharapkan lebih walaupun dia seorang cowok.

Banyak yang mengira aku jadian dengannya. Pemikiran yang bodoh, sebetulnya. Mereka yang mengatakan hal seperti itu sudah jelas tidak mengenal Denise sebaik aku. Ia memang orang yang sangat baik, tidak hanya padaku, tapi juga pada orang lain. Ia tidak pernah merasa keberatan bila ada yang meminta bantuannya untuk mengajari matematika. Karena aku tidak begitu pintar tentang itu, otomatis aku jadi sering belajar padanya. Ia juga punya rasa humor yang bagus. Terlalu bagus malah. Sewaktu kami masih duduk di kelas VII, dia sering sekali mengusiliku. Hal terakhir yang dia lakukan sebelum kami lulus adalah menyembunyikan ponselku di atas lemari besar di pojok depan kelas. Dia sudah lebih tinggi dariku, jadi dia bisa menaruhnya di atas sana dengan mudah sementara aku harus menggunakan kursi untuk mendapatkannya kembali.
“Denise, kembaliin ponselku!”
“Hahaha, ambil aja sendiri. Nggak terlalu tinggi, kan?”
“Iih, kamu nyebelin banget sih! Pokoknya harus kamu yang ngambil!”
“Nggak mau!”
Ya ampun, betapa aku akan sangat merindukan keisengannya.
***

Kamu akan datang ke prom?
Aku menatap layar ponselku setengah takjub. Denise yang cuek tiba-tiba menjadi peduli dengan pesta dansa?

Nggak tahu. Memangnya kenapa?
Ponselku bergetar tanda SMS balasannya masuk. Cepat-cepat aku membacanya.

Cuma bertanya. Apa kamu akan pergi dengan Harris?
Aku tidak suka saat dia menyebut-nyebut nama mantan pacarku. Saat ini aku benar-benar ingin melupakan dan membuang semua kenangan tentang orang itu. Aku tidak suka karena dia beranggapan aku terlalu dekat dengan Denise, bahkan lebih dekat dibandingkan dengan dirinya. Jelas, rupanya ia pun tidak mengenal Denise sebaik aku.
Ya ampun, jelas nggak lah. Mana berani dia mengajakku?
Ya, mana berani dia mengajakku. Teman-temanku bilang aku memutuskannya dengan cara yang agak kejam, jadi menurutku dia masih terlalu takut untuk berinteraksi denganku lagi.

Kalau gitu, mau nggak pergi ke prom bareng aku? 
Aku memandang layar ponselku tanpa berkedip. Aku takut bila sekali saja aku berkedip, deretan huruf itu akan menghilang dari layar ponselku. Lama sekali aku memandanginya, sampai-sampai mataku terasa pedih dan berair. Tanganku gemetar, hampir tidak kuat mengetikkan balasannya.

Boleh aja.
Aku tidak bisa mengetikkan apapun yang lebih panjang dari itu. Rasanya kata apapun tidak akan cukup untuk menggambarkan perasaanku.
***

“Apa?! Dia mengajakmu ke prom?!”
Baru pertama kalinya aku melihat wajah teman baikku Sheila berubah seekspresif itu. Aku tidak bisa merespon lebih banyak selain tersenyum lebar sambil memamerkan SMS ajakan yang dikirimkan Denise padaku kemarin malam. Sheila merebutnya dari tanganku dan mulai membacanya seolah tidak mempercayai kata-kataku barusan.
“Ya ampun, ini sudah lebih dari cukup.” Gerutunya pelan.
“Apanya yang cukup?” Tanyaku polos.
“Denise dan kamu! Ini jelas sudah lebih dari cukup. Sampai kapan kalian akan terus saling menunggu seperti ini?”
“Saling menunggu? Maksudmu apa sih?”

Sheila memutar bola matanya dengan lagak dramatis.
“Sekarang aku tanya ke kamu dan kamu harus jawab sejujur-jujurnya. Apa alasan kamu memutuskan Harris?”
Aku terdiam sejenak sambil memandang langit-langit kelasku. “Karena dia menyebalkan.”
“Nah, kenapa dia menyebalkan?”

Lagi-lagi aku harus berpikir sejenak. “Um, kurasa karena aku tidak suka saat dia menganggapku terlalu dekat dengan Denise.” Jawabku akhirnya.
“Tepat!” Sheila berseru sambil menepuk bahuku.”Itulah masalahnya. Kedekatan kalian bisa dibilang tidak wajar untuk ukuran seorang sahabat.”
Aku hanya bisa melongo heran.
Sheila melanjutkan orasinya lagi. ”Dengar ya, Denise itu menyukaimu, dan dari gerak-gerikmu, orang paling bodoh pun akan langsung tahu bahwa kamu juga menyukainya. Menurutku, Harris tidak sepenuhnya salah mengenai penilaiannya terhadapmu.”

Sekarang dia mulai membuatku kesal. “Jadi sekarang kamu membela Harris?”
“Tentu saja tidak! Cowok posesif juga bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Maaf ya, tapi mungkin saja alasan sebenarnya kamu memutuskannya adalah karena kamu lebih menyukai Denise daripada dirinya.”
Aku tidak tahu mengapa, tapi perkataan Sheila seolah menembus diriku dan membuat lidahku kelu.
***

Malam harinya, aku memutuskan untuk membicarakan hal ini dengan ibuku. Beliau adalah orang yang paling tepat diajak berdiskusi mengenai hal semacam ini.
“Menurut Mama, kamu memang menyukai Denise. Tapi sebagai sahabat, sayang.”

Aku tidak mengerti maksudnya.
“Sayang, rasa suka itu ada berbagai macam. Kamu bisa saja menyukai seseorang karena dia orang yang baik dan menyenangkan. Bisa saja kamu menyukai orang lain karena dia sangat memperhatikanmu. Itu wajar saja dan kamu tidak perlu khawatir apabila kamu menyukai seseorang, karena itu berarti bahwa kamu tidak membencinya.” Ujar ibuku sambil tersenyum dan membelai pelan puncak kepalaku.
“Tapi aku takut, Ma. Aku takut Denise akan meninggalkanku setelah kami pisah sekolah. Aku takut dia menemukan sahabat yang lebih baik dari diriku. Dan yang paling parah, dia menemukan seorang gadis yang tepat untuk dijadikan pacar! Dia pasti akan sangat berubah dan kami tidak akan menjadi sahabat lagi…”
“Sayang, sekali sahabat akan tetap sahabat! Seorang sahabat sejati tidak akan memutuskan ikatan itu, apapun yang terjadi. Kamu bisa punya banyak teman, tapi punya banyak sahabat adalah hal yang hampir mustahil. Ingatlah itu selalu.”
***

Beberapa minggu setelah hari pertamaku bersekolah di SMA, Denise mengajakku chatting lewat facebook.
Hai, lama tidak bertemu. Apa kabarmu? Betah dengan sekolah barumu?
Ini pertama kalinya ia menghubungiku sejak terakhir kalinya kami bertemu di hari kelulusan.
Kabar baik. Sekolah baruku hebat! Aku senang sekali di sini. Bagaimana denganmu?
Aku tidak begitu senang.

Kenapa begitu?
Karena aku belum mendapatkan seorang sahabat sebaik dirimu.
Aku tertegun. Sesuatu yang panas dan basah mendesak keluar dari sudut mataku. Rupanya ini;ah yang dikatakan ibuku tempo hari.
Denise, apa kita akan tetap menjadi sahabat?
Lama sekali ia menuliskan balasannya. Aku menggigiti kuku karena gugup.
Bicara apa kamu? Mana mungkin seorang sahabat bisa pensiun? Sahabat itu untuk seumur hidup. Pisah sekolah bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Kita akan selalu jadi sahabat, aku jamin.
Beban yang selama ini menggelayuti bahuku akhirnya terlepas dan membubung tinggi ke angkasa. Aku tahu bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi, biarpun suatu hari nanti kami tumbuh dewasa dan terpisah berkilo-kilometer jauhnya. Selamanya kami akan jadi sahabat. Benar ‘kan, Denise?

No comments:

Post a Comment