Thursday, December 1, 2016

Kau Bukan Hanya Imajinasiku


Kau Bukan Hanya Imajinasiku


Tak pernah aku merasakan kebahagiaan. Sangat sulit bagiku untuk mendapatkan teman. Aku tak tau mengapa, tapi yang jelas saat aku mendekat, maka mereka akan pergi menjauhiku. Apa ada yang salah denganku?

Namaku Eliana. Saat ini umurku baru menginjak 15 tahun. Hampir satu bulan berlalu sejak pengumuman kelulusan diumumkan. Saat ini aku sedang mempersiapkan diri karena besok adalah hari pertamaku di SMA. Tak banyak yang aku harapkan. Aku hanya berharap agar saat di SMA nanti aku bisa mendapatkan teman. Walau hanya satu, tapi aku pasti akan merasa sangat senang sekali.

Disini adalah satu-satunya tempat bagiku. Kamar yang selalu membuatku nyaman dan senang walau sedang merasa sedih dan kesepian. Setiap hari yang selalu kulakukan di kamar ini adalah melukis. Ya, melukis adalah hobiku sejak kecil. Karena saat melukis, aku merasa berada di dunia yang berbeda. Dunia yang tak pernah di datangi orang lain. Dunia yang setiap saat bisa kudatangi dan bisa menerimaku. Sebuah dunia baru yang kuciptakan dengan imajinasiku.

Hari yang cerah. Cahaya mentari yang menyilaukan menembus jendela kamarku. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk melukis.

Kini kanvas telah ada dihadapanku. Perlahan-lahan aku mulai melukis sebuah bayangan yang ada dalam pikiranku. Goresan dari cat air mulai membentuk sesosok pria yang belum pernah kukenal.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyelesaikan lukisan ini. Sekarang yang terlukis di kanvas adalah wajah seorang pria yang sedang tersenyum. Panjang rambutnya hanya sebahu dengan warna hitam yang terlihat cocok dengan warna kulitnya yang putih.
“Andaikan lukisan ini nyata, mungkin aku akan menjadikanmu teman.” Pikirku.

Aku terus memandangi lukisan itu. Jika ia terlahir sebagai manusia, mungkin ia akan menjadi pria yang sangat tampan dan mungkin akan membuatku jatuh cinta padanya.
Tiba-tiba terpikir olehku untuk memberinya nama. Beberapa saat aku terus berpikir dan menatap lukisan itu.
“Ya, aku tahu!” seruku setelah menemukan nama yang kurasa cocok untuk lukisan itu. “Bagaimana kalau Dave? Soalnya sejak dulu aku selalu ingin memiliki seorang kakak laki-laki bernama Dave.” Sambungku sembari menuliskan nama ‘Dave’ di kanvas itu.

Hari semakin malam. Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 09.37 malam. Aku mulai mengantuk. Mataku terasa berat. Sebelum tidur aku sempat menggantung lukisan Dave di dinding agar aku bisa melihatnya sebelum tidur. Setelah itu, aku mulai memejamkan mata di tempat tidurku. Kuharap besok aku tak akan terlambat karena besok adalah hari pertamaku di SMA.

Aku berdiri disebuah jalan. Setelah siap dengan seragam yang kugunakan, aku melangkahkan kaki menuju gedung SMA.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sontak aku terkejut dan langsung menoleh ke belakang. Namun saat aku melihat orang yang menepuk bahuku tadi, aku merasa lebih terkejut lagi. Taukah kau siapa yang kulihat? Dia Dave pria yang ada dalam lukisanku.
“Kau pasti mengenalku, kan?” tanyanya sambil tersenyum. “Ya, aku Dave. Kau memang seniman yang berbakat.” Katanya sambil mengedipkan satu matanya.

Aku masih terdiam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Apa ini hanya ilusi? Mungkinkah ini kenyataan? Tapi bagaimana bisa dia menjadi nyata?
“Kenapa? Kau tak suka aku ada disini?” pertanyaan Dave membuyakan lamunanku.
“B-bukan… t-tapi kau kan…”
“Ya, kau benar, aku hanya sebuah lukisan. Tapi bukankah kau sendiri yang meminta agar aku menjadi nyata dan menjadi temanmu?”
“Aku?” otakku terus berpikir dan berusaha mencerna apa yang dikatakan Dave. Apa harapan seperti ini bisa terwujud? Atau ini adalah sihir? Apa mungkin aku bermimpi? Tapi rasanya ini bukan mimpi.
“Hey, nggak usah kebanyakan mikir, deh!” kata Dave. Tiba-tiba ia menggenggam tanganku. “Ayo masuk! Nanti kita terlambat lagi.” Ia menarik tanganku dan berlari memasuki sekolah.

Sampai detik ini aku masih terus berpikir. Bagaimana bisa Dave ada didunia ini? Berulang kali aku menganggap ini mimpi. Tapi aku merasa ini terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Tapi disamping rasa bingung itu, ada perasaan senang terselip di hatiku, karena baru kali ini aku melihat lukisanku bisa hidup dan berbicara denganku. Ya, Tuhan, bolehkah aku berharap kalau ini nyata?

Setiap hari kami selalu bersama. Saat sekolah maupun pulang sekolah. Ya, mau bagaimana lagi? Dave itu kan asalnya dari lukisan yang kubuat, jadi setiap pulang sekolah, kami akan pulang bersama ke rumahku karena rumah Dave adalah lukisan yang kini ada didalam kamarku.

Meski ia hanya lukisan, tapi aku selalu merasa kalau Dave memiliki hati. Setiap ada yang meminta bantuan, maka ia akan membantu orang itu. Seperti aku yang sering mengeluh padanya. Mungkin jika orang lain mendengar keluhanku setiap hari, maka orang itu pasti akan merasa bosan dan pergi. Tapi tidak dengan Dave. Dengan antusias ia mendengarkan keluhanku dan saat aku selesai, maka ia akan memberiku solusi dan semangat untuk menghadapi masalah yang sedang kuhadapi. Hal itu membuat Dave sedikit demi sedikit masuk ke celah-celah hatiku hingga membuatku jatuh cinta padanya.

Ingin sekali aku mengutarakan perasaanku padanya, tapi aku selalu mengurungkan niat itu. Bukan karena aku membencinya. Tapi bayangkan saja. Dia hanya sebuah lukisan sementara aku adalah manusia. Jadi bagaimana bisa aku mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya?

Bel istirahat berbunyi. Dengan perut lapar aku berjalan menuju kantin. Apalagi pelajaran tadi terasa sangat menyulitkan bagiku hingga membuat perutku semakin lapar.

Oh, menyebalkan sekali. Saat sampai, suasana kantin sangat ramai. Kulihat ke sekelilingku, tak tersisa satu pun meja untuk makan. Dengan rasa kecewa aku beranjak kembali menuju kelas.

Berbeda dengan suasana di kantin. Saat ini kelas nampak sepi. Yang ada hanya ada beberapa murid wanita yang sedang mengobrol sementara di bangku paling belakang, kulihat Dave sedang asyik mengotak-atik bukunya. Sepertinya ia sedang menggambar sesuatu.
“Woi!” seruku saat menghampirinya.
“Apa?” hanya kata itu yang dia ucapkan.
“Cuek banget.” Kataku setelah duduk disampingnya. “Ng… gambar apa, tuh?” tanyaku penasaran.

Dave mengangkat bukunya dan memperlihatkannya padaku. “Ini?” tanya Dave.

Rasanya aku ingin tertawa melihat gambarnya. Tak bisa kukatakan dengan sebuah kata-kata, tapi yang jelas gambarnya itu terlihat lucu bagiku. “Lukisan itu nggak bisa melukis, ya?” ejekku.
“Kenapa? Kau mau menghina?” Dave balik bertanya. Ia menatap gambarnya sendiri. Kulihat ia tersenyum tipis. Sepertinya gambar itu juga terlihat lucu baginya. “Iya juga, ya. Gambarku memang aneh.” Katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hey, bolehkah aku bertanya?” tanyaku sedikit ragu.

Dave berhenti tertawa. Kini ia menatapku. “Tentu.” Jawabnya singkat.
“Kenapa kau bisa ada disini? Bukankah kau hanya sebuah lukisan? Apa sekarang aku sedang bermimpi?” tanyaku.
“Mimpi? Apa kau berpikir begitu?” Dave balik bertanya.
“Ya, begitulah.”
“Kalau begitu kau benar. Ini semua hanyalah mimpi. Ini adalah dunia yang kau ciptakan dengan imajinasimu. Aku juga bagian dari imajinasimu.” Jawab Dave. Aku tertegun mendengar jawabannya itu.
“Itu artinya kau tidak nyata?”
“Ya. Saat kau terbangun dari tidurmu, maka aku akan menghilang. Tapi hal itu akan lebih cepat terjadi jika kau mengatakan suka padaku dari hatimu yang paling dalam.”

Rasa kecewa menghampiriku. Ternyata semua ini hanya mimpi. Dia bukanlah kenyataan. Dia bilang kalau aku mengatakan suka maka ia akan menghilang lebih cepat sebelum berakhir waktuku untuk tidur. Tapi bagaimana dengan perasaanku?
“Tenang saja! Kau tak perlu memasang tampang sedih seperti itu.” Ujar Dave dengan wajah tenang sambil tersenyum.
“Kenapa? Kenapa kau masih bisa tersenyum?” tanyaku sambil meneteskan air mata.
“Apa maksudmu?” tanya Dave bingung.
“Kenapa kau masih bisa tersenyum saat mengatakan hal itu? apa kau senang kalau harus berpisah?” tanyaku. Aku menatap wajahnya yang terlihat bingung.
“Eliana…”
“Tapi aku tidak senang. Aku tak mau berpisah denganmu. Aku tak mau berpisah dengan orang yang kusuka. Aku menyukaimu apa kau tak tau itu? Apa kau tak menyadarinya selama ini?” tanpa berpikir panjang aku mengatakan hal itu. Meski merasa menyesal, tapi semua sudah terjadi. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
“K-kau…”
“Maaf.” Lirihku.

Tiba-tiba Dave tersenyum. Ia menarik tanganku lalu memelukku. Tak bisa kurasakan suhu tubuhnya. Entah itu dingin atau hangat aku tetap tak bisa merasakannya karena ia hanya sebuah lukisan.
“Akhirnya kau mengatakannya juga.” Ujar Dave.
“Apa maksudmu?” tanyaku.

Dave melepaskanku. Kedua tangannya menghapus air mata di pipiku. “Sejak kita bertemu, aku tau kalau pada akhirnya kau akan mengatakan suka padaku. Meski awalnya aku mencoba untuk tak menghiraukannya, tapi entah kenapa aku juga menyukaimu.” Jawabnnya sambil tersenyum.
“Kenapa kau tak memberi tauku sejak awal? Jika aku tau, aku pasti tak akan mengatakan suka padamu.”
“Mau bagaimana lagi? Kau juga telah membuatku jatuh cinta padamu.”. “Didunia ini, aku tercipta sebagai lukisan yang seharusnya tak memiliki hati dan perasaan. Tapi karena kau telah menciptakanku dengan hati dan perasaanmu, maka kau dapat menciptakan hati dalam diriku hingga aku bisa merasakan cinta.”

Air mataku kembali menetes. Tak bisa kubayangkan apakah aku bisa membiarkan Dave pergi begitu saja. Pasti rasanya sakit. Apalagi Dave adalah cinta pertamaku. Tapi aku tak bisa memilikinya dalam nyata. Aku hanya bisa memilikinya dalam imajinasi karena dia hanyalah imajinasiku.
“Sepertinya aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal Eliana.” Ucap Dave.

Sebelum pergi Dave sempat memberiku sebuah hadiah, yaitu sebuah cium manis di keningku. Harusnya aku merasa senang, tapi kenapa aku malah merasa sakit? Apa karena Dave akan pergi?
“Kuharap kita bisa bertemu lagi.” Kata Dave.

Perlaan-lahan semuanya menghilang. Bukan hanya Dave, tapi semua murid dan gedung sekolah juga ikut sirna. Kini yang kulihat hanyalah kegelapan yang pekat mengelilingiku tanpa sedikit pun cahaya yang menerangi pandanganku.

Aku terbangun dan kembali ke kamarku yang terang. Benda pertama yang kulihat adalah lukisan Dave yang terpajang di dinding. Tanpa sadar tiba-tiba aku menangis. Masih melekat dalam benakku mimpi indah itu. Bisakah mimpi itu terulang kembali? Masih bisakah aku bertemu dengannya? Aku harap semua itu bisa terjadi.

Suara jam weker mendengung di telingaku. Tanpa sadar aku tertidur di lantai saat menangis tadi. Kulihat jam telah menunjukkan pukul 05.45. Meski masih ingin berada di dekat lukisan Dave, tapi lebih memilih untuk bersiap-siap pergi ke sekolah karena aku sadar kalau sekarang aku tak lagi berada di dunia mimpi atau imajinasi tapi sekarang aku telah berada di dunia nyata. Tempat yang bisa dikunjungi Dave karena ia hanyalah imajinasiku.

Sekolah ini terlihat luas. Pasti ada banyak murid yang bersekolah disini. Kuharap aku akan mendapat teman baru disini.

Aku dan beberapa murid kelas 1 berjalan mengikuti 2 orang kakak kelas yang merupakan osis di sekolah ini. Kami membentuk barisan dan berjalan menuju kelas baru kami. Dan saat berhenti kami sampai disini. Dan inilah kelas yang akan kami tempati.
“Tunggu!” seru seorang osis. “Karena kalian masih dalam masa ospek, jadi biar kami yang mengatur tempat duduk kalian. Kalo nggak terima, berarti harus siap terima hukuman.” Sambungnya.

Kulihat beberapa siswa merasa kesal. Aku rasa mereka ingin duduk bersama temannya masing-masing. Hanya saja mereka tak berani protes karena takut akan menerima hukuman. Akulah satu-satunya orang yang menerima peraturan itu dengan senang hati karena kalau pun peraturan itu tidak ada, aku juga akan duduk dengan orang yang tak kukenal. Jadi apa bedanya?

Kedua osis itu mulai beraksi. Mereka menempatkan satu-persatu murid ke bangku yang mereka pilih sesuka hati mereka. Tidak hanya itu, tapi mereka juga mengatur siapa orang yang akan duduk dengan kami.
“Kamu!” panggil seorang osis. Ia menunjuk kearahku. “Duduk disana!” katanya sambil menunjuk bangku urutan ketiga jika dihitung dari depan.

Aku berjalan menuju bangku itu. Syukurlah, kukira tadi aku akan mendapatkan bangku rusak seperti teman-teman yang lain, tapi ternyata aku mendapat bangku yang masih terlihat bagus dan terawat.
“Hey, kamu yang berdiri di depan pintu!” panggilan terahir itu ditujukan pada seorang pria. Kebetulan dia adalah orang terakhir yang belum mendapat bangku.

Aku memperhatikan pria itu. Rasanya dia sangat mirip dengan orang yang kukenal. Apa kami pernah bertemu?
“Duduk di bangku yang masih kosong itu!”

Setelah mendengar perintah itu, pria tadi berjalan menuju bangku yang dimaksud osis itu.

Saat ia berjalan, aku terus memandanginya karena aku yakin aku pernah bertemu dengannya. Hanya saja aku tak ingat dimana.
Tiba-tiba ia berhenti di dekat bangkuku. “Disini?” tanyanya sambil menunjuk kursi disebelahku yang kebetulan masih kosong. OSIS itu menganggukkan kepalanya. Tanpa membuang waktu ia meletakkan tasnya dan duduk di kursinya.
“Dave?” kataku setelah mengenali wajahnya.
“Dave?” pria itu nampak bingung. “Dari mana kau tau namaku? Apa kita pernah bertemu?” tanyanya.
“Tidak mungkin. Apa aku bermimpi lagi?”

Kucoba memukul tanganku sendiri dan ternyata rasanya sakit. Apa artinya ini bukan mimpi? Apa ini kenyataan? Ya, ini memang kenyataan. Ternyata Dave bukan hanya imajinasiku.
“Hey, dimana kita pernah bertemu?” tanyanya lagi.
“Kurasa dalam imajinasiku.” Jawabku sambil tersenyum.
“Imajinasi? Maksudmu?”
“Lupakan saja!” kataku mencoba menghentikan pembicaraan ini.
“Ayolah, beritau aku!” katanya penasaran. Ia terus bertanya sambil memukul-mukul tanganku.
“Kalian berdua!” seru seorang OSIS sambil menunjuk kami. “Pagi-pagi udah pacaran. Maju kalian!” aku tertegun mendengar ucapannya.

Huh, menyebalkan. Harusnya tadi aku tak memulai pembicaraan itu. Tapi terlanjur, sekarang pasti aku kena hukuman.
“Hey, ayo maju. Nanti hukumannya bisa dua kali lipat lebih berat, loh.” Bisik Dave sambil mengedipkan satu matanya, sama seperti Dave dalam mimpiku.

Aku menghela nafas. Benar juga apa katanya. Kalau nggak berdiri bisa-bisa kedua OSIS itu menambahkan humuman yang lebih berat lagi. Dengan berat hati aku melangkahkan kaki ke depan kelas. Aku hanya bisa menatap ke depan kelas karena merasa malu. Bagaimana tidak? Sekarang seisi kelas mentertawakan kami.

Taukah kalian hukuman apa yang diberikan OSIS itu? kalau hanya disuruh membersihkan toilet aku masih bisa terima. Tapi ini? Kedua OSIS itu menyuruh Dave untuk menyatakan cinta padaku didepan seluruh penghuni kelas. Oh, Tuhan, betapa malunya aku hari ini.
“Hukuman yang menyenangkan, kan?” bisik Dave setelah melaksanakan hukumannya. Tak hanya itu, tapi ia juga masih bisa tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya saat mengucapkan kata-kata itu.
“Dasar bodoh!” balasku jengkel.

Hari ini memang menyebalkan. Meski begitu aku yakin ini akan menjadi awal yang baik. Apalagi setelah bertemu Dave dalam dunia nyata. Itu artinya dia bukan hanya imajinasiku. Dan yang aku sadari adalah, imajinasi tak hanya berada dalam pikiranmu, tapi mungkin ia juga bisa muncul dalam kehidupanmu.

No comments:

Post a Comment