Thursday, December 1, 2016

Memiliki Kehilangan


Memiliki Kehilangan


Pagi ini, cuaca mendung menaungi kota Bandung. Tak heran lagi mata ini melihatnya. Bandung begitu sejuk. Sekalipun hujan, hujan itu tak akan lama, hujan itu tak akan menyebabkan banjir yang parah. Akupun sangat bahagia berada di sini untuk menikmati hujan di kota Bandung. Sudah empat bulan aku meninggalkan ibukota. Aku mempunyai alasan yang kuat untuk menetap di sini. Namun semua itu hanya menjadi bagian perjalanan hidupku. Aku pergi meninggalkan ibukota tanpa memberi kabar apapun pada keluargaku.

Aku tak cukup kuat untuk menyampaikan pada ibuku kalau aku pergi dengan membawa beribu batu dipundak ini. Aku tak cukup tega untuk mengatakan pada keluargaku bahwa mereka akan mendapatkan cucu dari rahimku dengan statusku yang masih pelajar kelas 3 SMA. Aku bahkan tak memiliki muka untuk melihat mereka semua. Di tempat inilah aku dapat berjalan tegak tanpa kuatir ada yang merendahkanku. Walaupun sesungguhnya aku pantas direndahkan.

Kejadian 2 bulan yang lalu telah menjadi luka yang begitu dalam. Dimas telah menggoreskan luka yang teramat dalam bagiku. Dia merenggut kegadisanku dan melarikan diri dengan wanita lain. Masih kuingat dengan jelas, sebelum kepergiannya, ia dengan berani menampakkan muka di depanku bersama seorang wanita yang menggelayut manja dilengannya. Wanita itu berpakaian seksi. Semua bagian intimnya kelihatan. Dadanya yang putih mulus bahkan menyembul menggoda dibalik blouse bunganya. Kaki jenjangnya dibalut hotpants yang membuatnya terlihat semakin seksi. Kakinya bahkan mengenakan sepasang heels yang indah. Aku sempat mematung dan menatap diriku sendiri dalam bayanganku, apa yang dapat kubanggakan dariku? Flat shoes buluk kesayanganku? Atau kemeja dan celana jeans murahan yang kubeli di pasar? Aku meringis menahan malu.

Wajar Dimas memilih wanita itu. Naluri kelaki-lakiannya berhak untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan. Tetapi mengapa harus menodai aku dulu baru ia memilih wanita itu. Cukup pergi dan tinggalkan aku, jangan lukai aku seperti ini. Hidup segan, mati tak hendak. Itulah aku yang dulu sebelum akhirnya aku menyadari bahwa aku harus bangkit dengan memulai hari yang baru. Membuang semua kenangan buruk dan orang-orang yang melukai aku. Aku akan kembali, tetapi ketika aku telah menapak sempurna dipuncak kesuksesan dengan membesarkan anakku sendiri.

Tanpa kusadari, aku telah sampai di pertokoan kecil milik kenalanku. Aku berjalan masuk dan membereskan toko sebelum toko di buka. Sebuah toko elektronik kecil-kecilan. Toko ini milik Yanti, teman masa kecil yang dulu tinggal bersebelahan di rumahku. Sekarang Yanti hijrah ke Bandung untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Ia mempercayakan toko ini untuk kujaga karena ia berniat membantuku. Yanti tak bisa lama-lama di toko karena ia sedang sibuknya meninjau lokasi untuk toko barunya. Perlahan tapi pasti ia sekarang telah sukses. Terbukti dengan rencananya untuk membuka cabang baru dan di sinilah aku sekarang. Lisa si penjaga toko elektronik.
“Hei Lis, udah datang? Aku mau pergi ke lokasi dulu nih. Toko kuserahkan padamu, ya. Kalau sorean aku belum pulang, ditutup aja, nggak apa-apa. Nanti kemalaman kalau harus menunggu aku. Ok? Aku pergi dulu ya.” Yanti tersenyum sembari berjalan mengambil tasnya. Aku balas tersenyum dan menggangguk mengiyakan permintaannya.

Bukan perkara mudah menunggu kata ya meluncur dari mulut Yanti. Ia sebetulnya tak menyetujui aku tinggal bersamanya dan bahkan menjaga tokonya. Namun ia lebih bersimpati pada bayi di kandunganku. Bayi tak bersalah yang entah bagaimana nasibnya kalau ibunya yang bodoh ini tak mendapat uang untuk memberinya asupan gizi. Dengan alasan itulah Yanti menerimaku di rumah dan tokonya. Ia sungguh berhati mulia.
“Permisi mbak, saya mau mengambil pesanan saya kemarin. TV Flat 21 inch atas nama tuan Satria. Apa sudah dipersiapkan?” Seketika lamunanku buyar. Ah akhir-akhir ini aku memang lebih banyak melamun daripada dulu.
“Saya lihat sebentar ya chek listnya. Silakan duduk dulu mas.” Aku tersenyum ramah pada seorang laki-laki yang kukira berumur sekitar 27 tahunan. Lebih tua 10 tahun dariku, gumamku dalam hati.
“Pesanan Anda telah dipersiapkan. Saya akan menyuruh kurir membawanya. Mas bawa kendaraan sendiri atau mau diantarkan ke rumah?”
“Saya bawa sendiri aja, mbak. Kebetulan saya membawa mobil. Boleh tolong di bawa ke mobil avanza silver di depan?”
“Baik, mas. Silakan tanda tangan di sini sebagai bukti telah mengambil pesanan Anda. Kurir kami akan segera mengangkatnya ke mobil Anda.” Aku menyerahkan padanya kuitansi pembelian yang telah dilapisi karbon sehingga ada salinan yang dapat disimpan sebagai arsip.
“Baik terima kasih, mas. Semoga Anda puas dengan pelayanan kami. Selamat berkunjung kembali.” Aku mengakhiri pembicaraan kami dengan seulas senyuman.
“Terima kasih kembali. Boleh saya bertanya sesuatu?”
“Ya?”
“Siapa nama kamu? Saya baru pertama kali melihat kamu di sini?”
“Saya penjaga toko yang baru. Saya hanya membantu pemiliknya saja. Mas kenal dengan pemiliknya ya?”
“Maksud kamu Yanti? Dia tetangga saya, saya baru pulang tadi dan langsung menuju ke sini untuk mengambil pesanan papa saya. Nama kamu siapa?”
“Saya Lisa, mas. Maaf saya tidak pernah melihat mas sebelumnya. Maaf kalau saya memperlakukan mas dengan tidak sopan.”
“Tidak apa-apa. Kamu sudah berlaku baik terhadap saya. Pantas Yanti mempekerjakan kamu. Oke Lisa, saya pulang dulu ya. Oya, nama saya Januar. Salam kenal ya.” Januar tersenyum lembut ke arah Lisa sembari melambaikan tangannya sebelum berbalik menuju mobilnya.
Ah, kalau saja saya tidak sadar diri, pasti saya sudah terhanyut dalam senyuman lembut Januar. Wajah tampannya disandingkan dnegan tubuh atletisnya. Aku yakin wanita manapun pasti akan menyukainya. Setidaknya pada kesan pertama. Aku mengibaskan tanganku dan berkata pada diriku sendiri bahwa aku hanya bermimpi seandainya aku bisa mendapatkan hatinya. Bangun Lisa. Kamu tidak lagi gadis. Kamu membawa seorang janin berusia hampir dua bulan. Apa lagi yang kamu harapkan. Aku menghela napas kemudian menyibukkan diriku dengan seabrek pesanan pelanggan yang harus aku kerjakan hari ini.

Tanpa terasa hari sudah sore. Aku segera menutup toko dan berjalan kaki pulang ke rumah. Letak toko dan rumah Yanti tak begitu jauh. Cukup 10 menit untuk berjalan kaki. Aku lebih suka berjalan kaki. Sembari berjalan-jalan melihat sekitar, aku juga bisa menghemat ongkos. Biaya untuk melahirkan dan merawat seorang bayi tidaklah murah. Aku harus pandai mengatur keuanganku dengan gaji yang diberikan Yanti. Sesampainya di rumah, lampu depan masih gelap. Artinya Yanti belum tiba di rumahnya. Setelah menghidupkan lampu, aku berjalan ke dapur dan memasak. Sudah menjadi tugasku memasak sehari-hari. Tak ada lauk yang wah menghiasi meja makan Yanti. Semuanya demi berhemat. Uang belanja selalu diberikan Yanti, ia sungugh baik mau menanggung makan kami. Aku tak tahu bagaimana kelak harus membalas budinya. Tiba-tiba pintu depan diketuk. Ada seseorang yang datang. Bukan Yanti karena ia selalu membawa kunci sendiri. Siapa ya, gumamku. Aku berjalan menuju pintu dan mengintip dari samping jendela. Januar! Ada gerangan apa dia ke sini. Mencari Yanti? Aku memutar kunci dan membuka pintu.
“Januar? Ada apa?”
“Nggak, aku cuma pengen ngobrol aja sama kamu. Boleh kan?” Januar duduk di teras rumah Yanti dengan santainya. Malam ini ia kelihatan beda. Lebih rapi dibanding tadi pagi.
“Ada apa? Boleh saja mengobrol. Tapi jangan kemalaman ya, saya takut di anggap tidak sopan.” Aku ikut duduk di teras tetapi sedikit lebih jauh dari posisi Januar.
“Nggak, hanya sebentar saja. Aku cuma ingin tahu sedikit tentang kamu. Sebagai tetangga kita kan harus saling mengakrabkan diri. Betul kan?” Alis mata Januar naik sebelah, pertanda meminta persetujuanku atas kalimat yang diucapkannya.
“Oh, tentu saja. Apa yang ingin kamu tanyakan? Sebisa mungkin akan saya jawab.”
“Kalau bisa kita ngobrolnya santai saja. Nggak perlu pakai kata saya. Kita kan nggak lagi di toko.” Januar tersenyum lebar, sementara aku tersipu malu.
“Kamu dari Jakarta ya? Lulusan mana?” Januar mengawali pembicaraan kami dengan menanyai asal-usulku.
“Iya, aku dari Jakarta. Aku baru kelas 3 SMA, Jan. Hanya saja itu beberapa bulan yang lalu. Aku tidak sekolah lagi” Aku tersenyum getir menanggapi pertanyaan Januar.
“Kok nggak dilanjutkan? Sepertinya kamu nggak berasal dari keluarga yang tidak mampu. Maaf tentang pertanyaanku, kalau dirasa tidak perlu dijawab tidak apa-apa.”
“Nggak apa-apa, Jan. Aku yang berhenti, bukan orang tuaku yang menghentikan studiku. Aku punya alasan kuat untuk berhenti.”
“Oh, begitu. Kamu berencana tinggal di sini sampai kapan?”
“Aku juga nggak tahu, belum memikirkannya. Mungkin sampai Yanti mendepakku keluar dari sini.” Aku tertawa keras disambut tawa Januar.
“Aku kenal Yanti, dia nggak mungkin mengusir kamu dari sini. Orangnya baik kok. Kamu temanan sama Yanti sejak kapan?”
“Sejak kecil, kami bertetangga. Kemudian dia pindah ke sini. Kamu berapa saudara?”
“Aku anak tunggal, Lis. Makanya aku suka mengajak seseorang mengobrol, soalnya selalu kesepian. Aku pulang ke Indonesia karena sedang cuti kuliah.”
“Oya, kuliah di mana? Ambil jurusan apa?” Mataku berbinar ketika berbicara tentang studi.
“Di Amerika, aku mengambil jurusan komunikasi bahasa asing. Ini studi S2-ku.”
“Wah, kamu jenius ya, udah sampai S2. Ngomong-ngomong berapa usia kamu, Jan?”
“26 tetapi bulan depan menjadi 27. Kalau kamu?”
“Baru 17 tahun, Jan. Kelihatan tua ya?”
“Nggak, malah kelihatan muda banget. Semula aku kira masih 15 tahun.” Januar tertawa kecil.
“Pujian atau ngejek nih. Hahaha.. Eh sudah pukul 8 malam nih, kita sudahan ya ngobrolnya. Aku takut tetangga terganggu. Lagian besok sudah mau kerja lagi.”
“Ok Lis, sampai ketemu besok ya. Terima kasih sudah menemaniku ngobrol. Selamat malam.” Januar pamitan sembari melambaikan tangannya dan tersenyum manis ke arahku. Sungguh wajah yang rupawan, bisikku dalam hati.

Malam ini Yanti terlambat pulang. Aku menerima pesan singkatnya di layar kaca handphoneku. Yanti menyuruhku tidur duluan karena mungkin ia akan pulang pukul 11 malam. Kelihatannya Yanti sibuk sekali. Besok aku harus menanyainya apakah ada yang bisa aku bantu kerjakan. Setelah mengunci pintu dan jendela, aku masuk ke kamar. Menarik diriku masuk dalam selimut dan terbuai dalam mimpi yang kuharap indah. Memimpikan masa depan yang entah bagaimana nantinya setelah si kecil lahir. Saat ini perutku memang masih normal ukurannya, belum kelihatan sedang berbadan dua. Ah, bagaimana bila Januar tahu ya. Aku mengigau dalam mimpiku. Sungguh aku seperti jatuh cinta lagi. Segera kutepis buaian mimpi tentangnya. Aku takut terlalu tinggi dan terjatuh seperti dulu lelaki brengsek itu menyampakkan aku.

Pagi datang dengan cepat. Aku terbangun mendengar suara Yanti yang berbicara di teras depan. Sepertinya itu suara Januar. Ada apa ya, batinku mencari tahu. Aku beranjak menuju jendela ruang tamu dekat pintu. Berusaha mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kamu jangan dekati dia lagi, Jan. Dia tidak seperti yang kamu lihat. Biarkan ia tumbuh dengan lingkungan barunya.”
“Apa maksudmu? Aku tidak akan melukai dia. Aku menyukainya sejak mata kami pertama kali bertemu. Apa itu salah?” Aku terhenyak menyadari bahwa yang mereka perbincangkan adalah tentangku. Januar menyukaiku? Aku memegang dada ini, bergemuruh luar biasa. Antara cemas dengan tanggapan Januar apabila mengetahui kenyataan itu dan juga kaget mengetahui dia memendam rasa yang sama denganku.
“Lisa hamil dua bulan. Ia diperkosa dan sekarang ia tengah kabur dari keluarganya. Terserah apa yang kamu lakukan. Aku sudah memberitahumu sebisaku. Kalau kamu pikir baik untuk bersamanya, silakan. Aku cuma ingin dia menyembuhkan lukanya dulu.”
“Diperkosa? Hamil 2 bulan? Lisa?!” Januar terdiam mendengar penuturan Yanti. Ia terhenyak mendapati kenyataan bahwa Lisa tengah mengandung janin berusia 2 bulan hasil pemerkosaan.
“Ya. Kalau kamu tidak bisa menerima semuanya, jangan mengatakan kamu menyukainya lagi. Aku pergi kerja dulu. Sampai nanti.” Yanti pergi dari hadapan Januar menuju mobilnya yang terparkir di halaman.
Sementara aku hanya berdiri terdiam dibalik pintu di sisi jendela. Aku tak kuasa membayangkan bagaimana ekspresi Januar sekarang. Januar sudah tahu semuanya. Lisa gadis berusia 17 tahun tengah berbadan dua. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku. Menghela napas sedalam mungkin untuk menghilangkan rasa di dalam dada. Semuanya berkecamuk menjadi satu. Takut, bimbang, rasa tak ingin kehilangan, sekaligus pengharapan.

Januar melangkahkan kakinya pulang. Seharusnya aku sudah tahu bahwa tak mungkin ia masih nekad menemui aku lagi. Ia lebih pantas dan bahkan teramat pantas mendapatkan seseorang yang layak untuk dicintai. Sedangkan aku, jauh dari kata pantas untuknya.
Tepat pukul delapan pagi aku melangkahkan kaki menuju toko Yanti. Hari ini aku datang lebih siang karena Yanti telah membuka toko duluan. Yanti mengirimi aku pesan singkat yang isinya meminta maaf karena telah lancang menceritakan keadaanku pada Januar. Aku mengatakan pada Yanti bahwa aku baik-baik saja. Aku malah berterima kasih padanya karena dengan begitu Januar tidak akan mengganggu hidupku. Aku tidak perlu terluka lagi karena seorang pria.

Dengan langkah lunglai aku berjalan menuju toko Yanti yang sudah tampak di depan mata. Tiba-tiba langkahku terhenti karena seseorang yang kukenal berada tak jauh di depanku. Dimas! Untuk apa bajingan itu kemari? Dari mana ia tahu aku pindah ke Bandung? Aku menggigit bibirku dengan kuat. Bagaimana ini, apa aku harus berbalik arah atau terus melangkah. Aku terdiam cukup lama, sampai akhirnya Dimas terlanjur menyadari kehadiranku. Dia mendekatiku. Ingin rasanya aku berbalik, kemudian berlari sekencang mungkin. Tapi kaki ini mati beku rasanya. Baiklah, akan kuhadapi saja, batinku.
“Hai, apa kabar?” sapa Dimas sembari memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi.
“Kabar buruk karena sekarang aku bertemu seseorang yang tidak ingin aku temui.” Aku mendengus acuh dan memalingkan muka ke arah lain.
“Lis, kamu harus dengar kata-kataku. Aku ingin kita kembali, seperti dulu, Lis. Aku menyadari semuanya. Sekarang aku hanya membutuhkan kamu dan anak kita.” Dimas mencoba meraih tanganku, tapi dengan sigap aku memasukkan tanganku ke dalam kantong celana jeansku.
“Maaf, Dim. Semua sudah berlalu. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mungkin kembali padamu. Aku yang akan membesarkan anak ini. Kamu tidak mengakuinya dulu, jadi jangan pernah berpikir bahwa sekarang dia akan mengakui kamu sebagai bapaknya. Aku sibuk! Aku pergi dulu dan jangan temui aku lagi. Jangan ganggu hidup kami!!” Aku bergegas berlalu dari hadapan Dimas, tetapi dengan cekatan dia meraih tanganku, mencoba menahan kepergianku.

Tiba-tiba tanganku ditepis, dilepaskan dari genggaman tangan Dimas. Januar! Oh, Tuhan apa lagi sekarang. Aku meringis menahan rasa di dada. Bagaimana ini? Sekarang Januar bahkan bisa melihat siapa bapak anak ini.
“Jangan ganggu Lisa lagi! Sekarang dia bersama saya. Dia dan anaknya adalah tanggung jawab saya. Saya yang akan menjaganya.” Januar melepaskan genggaman Dimas yang mencengkram erat tanganku.
“Hehh, siapa kamu, berani-beraninya kamu ikut campur masalah kami!” Dimas terbawa emosi dan hampir menonjok wajah Januar.
“Saya tunangan Lisa. Kami akan segera menikah. Kamu sudah paham? Silakan pergi sebelum saya memanggil polisi untuk menangkap kamu.
“Tunangan?! Gadis busuk yang sudah ternoda itu kamu nikahi? Dasar laki-laki bodoh!” Dimas tertawa merendahkan, namun tiba-tiba gumpalan bogem Januar mendarat di wajahnya. Dengan sekali pukul ia menjatuhkan Dimas ke tanah.
“Jangan sekali-sekali kamu merendahkan Lisa. Kamu tidak pantas untuk merendahkannya, karena kamu jauh lebih rendah dari dia. Dia hanya menanggung beban yang kamu perbuat. Bajingan, enyahlah sekarang. Kalau tidak kuhabisi kamu!!” Januar terlihat seram dengan emosi memuncah di wajahnya. Dadanya bergemuruh saat mengatakan kalimat-kalimat tadi.
“Jan, sudahlah. Aku tidak apa-apa. Terima kasih.” Aku berbalik meninggalkan keduanya karena merasa tak cukup kuat lagi untuk menyaksikan semuanya.
“Lis, tunggu dulu. Kamu mau kan menikah denganku? Aku berjanji akan menjadi ayah dan suami yang baik. Ijinkan aku, Lis untuk mengobati hatimu dan mengisinya dengan kebahagiaan.” Januar meraih tanganku dengan lembut.
“Belum sempat aku menjawabnya, Dimas telah berada di belakang Januar dengan sebongkah batu yang berukuran lumayan besar. Dimas menghantamkan ke kepala Januar. Januar ambruk bersimbah darah, Dimas kabur melarikan diri. Aku sendiri terdiam dan akhirnya tersadar saat kerumunan orang-orang sibuk mengangkat Januar ke dalam mobil ambulans. Sejak kapan orang-orang tersebut berkerumun dan mobil ambulans tiba di sini, tak sedikitpun teringat.

Sesampainya di rumah sakit, Januar langsung menjalani operasi. Kepalanya mengalami gegar otak ringan. Ia membutuhkan banyak darah. Operasinya memang berjalan sukses. Namun, sampai detik ini Januar belum sadarkan diri. Saat ini aku tengah berada di sampingnya dan memegang kedua tangan kokoh milik Januar. Pria bodoh ini telah mencintai aku dan mengalami luka berat karena aku juga, si bodoh Lisa.
“Sabar, Lis. Januar pasti sadar. Dia lelaki yang kuat.” Yanti merangkul bahuku mencoba menenangkan hatiku.
“Iya, Yan. Dia harus sadar. Aku bahkan belum sempat menjawab lamarannya.” Aku menitikkan air mata untuk kesekian kalinya selama di rumah sakit ini.
“Kamu juga mencintainya kan?”
“Iya, Yan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia sungguh baik menerima aku dengan segala kekuranganku.”
“Kalau begitu kamu mau menikah denganku, Lis?” suara rintihan Januar terdengar ketika Lisa selesai mengakui perasaannya pada lelaki itu.
“Januar!” Rona bahagia terpancar dari wajah Lisa dan juga Yanti.
“Kamu sudah sadar? Aku panggilkan dokter dulu ya.” Yanti segera keluar meninggalkan kami berdua untuk memanggil dokter.
“Kamu mau kan, Lis?” Lisa mengangguk sembari meneteskan air mata. Kali ini air mata bahagia.
“Kamu harus sembuh dulu kalau benar-benar menginginkan aku.” Aku menghapus air mataku dan tersenyum bahagia ketika jemari Januar menggenggam erat jemariku.

Akhirnya cinta kami bersatu juga. Cinta yang semula kukira mustahil untuk dipersatukan. Aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku, namun aku mendapatkan seseorang yang berharga sebagai penggantinya. Aku dan anakku beruntung bisa mendapatkan kebahagiaan terindah setelah luka yang aku derita. Tuhan begitu baik mengirimkan Januar untukku. Ia tulus menerima aku dengan segala kekuranganku. Walau aku tak bisa mempersembahkan bunga semerbak seperti gadis lainnya, aku akan memberikan segenap jiwa dan ragaku untuk mencintai dan mengasihinya seumur hidupku. Terpenting, aku telah menemui kedua orang tuaku, mengakui semuanya dan memohon ampun atas kesalahan terbesar dalam hidupku, Dimas. Kabar terakhir yang kudengar, Dimas telah mendekam di penjara dengan kasus pemerkosaan dan percobaan pembunuhan. Aku tidak akan menaruh dendam lagi padanya. Tuhan telah mengganti semuanya dengan kebahagiaan ini, dan saat ini aku dan Januar berada di altar pernikahan kami untuk bertukar cincin. Terima kasih Januar, kamulah hidupku sekarang dan selamanya.

No comments:

Post a Comment