Thursday, December 1, 2016

Hujan di Baturaden

Hujan di Baturaden

Rintik kecil membekukan jalan dimana aku melangkah. Keheningan meringkuk ringkih melepas angin malam. Aku berlindung di bawah payung merah muda, memasukkan tangan kiriku ke saku jaket tebalku. Senyap begitu membelakangiku. Dingin baturaden menusuk tulangku. Harusnya aku menikmati selimut tebalku dikasur atau menikmati secangkir kopi susu yang sudah aku siapkan tadi. Namun, keluh perutku yang berteriak makan! makan! menginginkan sesuatu yang dapat mengganjal perut, mendorongku keluar tuk pergi ke warung. Aku mengeluarkan handphone dari saku kiriku mengecek ada sms masuk atau tidak. Yang kulihat hanyalah wallpaper handphone dan waktu yang menunjukkan pukul 19.45 WIB. Sepi malam ini sungguh merangkulku yang berjalan sendiri.

Warung makan tak jauh dari kontrakanku serasa jalan panjang lurus yang memakan waktu banyak tuk sampai di sana. Aku hanya melihat hitam aspal dan menghitung setiap tapak kaki yang aku langkahkan. Warung terlihat sepi hanya ada dua pembeli terlihat memesan makanan. Padahal biasanya penuh berjejal pembeli sampai – sampai aku tak bisa melihat mana ibu penjualnya. Aku meletakkan payung merah muda di teras warung. Dari balik kaca tempat menyajikan makanan, piring – piring yang berjejer berisi makanan hanya tersisa sedikit. Tak ada yang perutku inginkan. Mungkin lumpia hangat pas untuk malam ini. Aku segera memesan lumpia. Namun itu juga mengerutkan perutku, lumpia habis sejak tadi sore. Ku lihat ayam berbumbu belum mencicip minyak goreng melambaikan tangannya padaku, seolah memanggilku, memintaku untuk memesannya. Akupun mengabulkan permintaanya. Lelah berjalan membuatku duduk di kursi yang berjajar rapih sambil menikmati acara televisi. Menunggu ibu menggorengkan ayam untukku.

Tetes hujan yang jatuh menimpa genting membunyikan suara gaduh seperti mainan anak kecil yang mengerincing riang. Seseorang diluar sana meletakkan payung merah hatinya didekat payungku. Mencoba menata dengan benar. Arah mataku tertuju olehnya yang telah menarik perhatianku. Senyumku berkembang. Entah apa yang menarik bibirku melukiskan lengkung ceria. Pipiku hangat memerah. Seorang pria yang tak asing dalam pandanganku. Mas Maulana dengan blezzer coklat muda bercelana pendek menarik perhatianku sekejap. Aku terpesona olehnya. Begitu keren dengan wajah manis kulit putihya. Sedikit kumis yang ia biarkan tumbuh, sungguh malam ini dia begitu tampan. Ia mengarah padaku. Mata kami saling bertemu dalam sekejap waktu. Aku menundukkan wajahku. Terdiam dan menahan senyum untuknya.

Aku mendengar langkahnya yang mengarah padaku. Syaraf – syaraf dalam tubuhku menegang seolah tak bisa berkutik. Ku pegang kedua tanganku, rasa hangat mengalir. Ingin aku melihatnya sekali lagi namun jantungku begitu berdegup berpacu cepat dan membuatku malu untuk mengangkat daguku. Aku melihat ia melintas di depanku. Menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku semakin tak bisa menahan diriku yang salah tingkah dibuatnya.
“Ibu, pesen lumpianya ada?” tanya mas Maulana pada ibu warung yang sedang sibuk membungkus menu makananku.
“Habis mas Maulana, tadi sore banyak yang beli si mas,..mas Maulana sama mbaknya kurang gasik kesini.” Kata ibu warung yang memadukan dua bahasa Jawa dan Indonesia. Aku yang mendengar diriku dibawa – bawa hanya bisa tersipu malu.
“Mmm… ya sudah Bu, saya pesen ayamnya saja.”
“Nggih mas Maulana, sekedap nggih?”

Aku melihat mas Maulana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Aku menarik nafas panjang. Dia begitu terlihat manis untuk seorang lelaki.
“Oh iya An, kwitansi sama uang kembalian konsumsi yang pengajian kemaren udah ada di aku.” Kata mas Maulana yang mengajakku bicara. Aku tersontak kaget. Ia mengajakku bicara dan ini adalah hal yang memang aku inginkan dalam hidupku. Pengajian akbar kemarin mendekatkan aku dengan mas Maulana dalam satu kerjasama mengurusi konsumsi.
“Iya mas, makasih ya.” Aku tersipu malu sambil menarik lengan jaketku tuk menutupi jemariku yang terlihat nervous oleh perkataannya. Aku terdiam menutup rapat kedua belah bibirku. Hanya bisa tersenyum-senyum kecil. Melirik lekuk wajah mas Maulana. Aku harap dia tetap memandang layar televisi.
“Niki mbak, ayam gorengnya.”
“Nggih ibu, terimakasih.”
“Mas Maulana aku pulang duluan ya mas?” ucapku sedikit senyum. Mas Maulana hanya menganggukan kepalanya tanpa senyum sedikitpun. Aku bermuram hati. Dia begitu dingin kepadaku. Padahal kami sering bertemu dan saling terlibat dalam kegiatan dalam organisasi yang sama. Namun tetap saja ia begitu kaku terhadapku. Dan lewat organisasi inilah awal dalam cerita merah jambuku berlabuh. Mengenalnya perlahan dengan diam – diam mencari informasi tentangnya, diam – diam mencari perhatian dengannya, dan kini aku diam – diam menyukainya. Dia tetap tak melihatku. Aku menundukkan kepalaku, mengharap berjuta rasa menghiburku.

Aku mengambil payung merah mudaku sambil melihat mas Maulana duduk memainkan jemari tangannya di atas meja. Terdengar ketukan – ketukan irama yang membosankan untukku. Aku memberikan senyum seolah berharap mas Maulana membalas senyumku. Melangkahkan kaki beranjak pergi. Kembali menerobos angin malam yang perlahan membungkamku untuk diam tak berkutik. Lima langkah enam langkah tujuh langkah aku selalu menghitungnya. Mencoba mengalihkan perhatianku agar nama Maulana tak muncul di benakku. Semakin ku coba memfokuskan diri semakin namanya melekat. Dag dig dug, degub jantungku malah semakin tak berirama. Aku mengulangi menghitung langkahku.
“Satu langkah, dua langkah, tiga lllaan…” Aku terdiam menghentikan langkahku. Ada suara langkah selain langkahku yang ikut dengan irama langkahku. Aku melihat sekelilingku yang sepi, namun aku tak berani tuk menoleh ke belakang. Payung yang tadinya ku pegang tegak, kini gagang payung kusandarkan di bahu kanan.
“Sudah berapa langkah, kok berhenti?” Suara basse yang terdengar jelas di telinga sebelah kanan memaksa badanku tuk melihatnya. Mataku terbelalak kaget dan jeritanku secara spontan keluar begitu saja keluar dari mulutku. Payung dan makananku yang berbungkus tas plastik hitam kulempar tak berarah. Aku ingin berlari secepat kilat, namun tak kulakukan karna yang kulihat dia, mas Maulana. Tubuhku gemetar. Aku melihat mas Maulan memayungiku yang ketakutan. Ia tertawa kecil. Raut mukaku yang pucat pasi berubah merona karenanya.
“Tarik nafas dulu…” Kata mas Maulana padaku. Aku menarik nafas untuk meredam kekagetanku tadi. Tak jauh dariku berdiri mas Maulana mengambil payung dan makananku yang aku lempar tadi.
“Ambil, nanti kamu tambah basah.” Mas Maulana mengembalikan payung dan makananku.
“Terima kasih mas, aku bener – bener takut ni... Masih gemetaran mas.” Aku mengambil payungku lewat tangan mas Maulana. Sulit dipercaya olehku.
“Ha..ha.. ia maaf. Mau pulang kan, yuk bareng!” Mas Maulana masih menahan tawanya. Dan kami melangkah bersama. Aku masih bertanya – tanya apa yang terjadi barusan dan sekarang, ini benar diluar nalarku. Aku begitu bahagia, ingin meledek rasanya seperti bom yang siap pakai. Bom yang berisi sejuta rasa cinta yang menyerbakan wangi bunga. Tersenyum lepas menikmati rasa yang mengalir dalam tubuhku. Aku menarik nafas. Menenangkan perasaanku yang semakin membludak campur aduk tak karuan. Memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Kosan mas Maulana dimana?”
“Perempatan itu, ntar belok kiri yang deket sama warnet.”
“Owh.. kok sendirian mas?”
“Kamu juga sendirian?”
“He..he.. ia yah.. tapi sekarang enggak kan ada mas Maulana.”
“Bisa saja.” Mas Maulana tersenyum kecil. Kami kembali terdiam sejenak.
“Andin?” kata mas Maulana menyebut namaku.
“Ia mas.” Jawabku penuh tanya, ingin tahu kata – kata yang akan terucap lagi dari bibirnya.
“Kita kenalan lagi yuk?”
“Hah, lagi! Kan kita udah kenal.”
“Ia yah.. tapi mas ingin kenal Andin jauh lebih dekat.”

Aku terhenyak lebih kaget daripada tadi. Menghentikan langkahku. Mas Maulanapun demikian. Kami berdua berdiri saling berhadapan.Kedua bola mata kami saling bertemu. Mas Maulana tersenyum manis sekali. Dan ini kali pertama aku melihat senyuman mas Maulana persis dihadapanku dan itu untukku. Aku menguatkan tanganku pada pegangan payung. Detak jantungku seirama dengan butir air hujan yang semakin lebat menhujam payungku. Mewakili emosiku yang tak mampu menahan gejolak rasa. Mematung tak mampu berbuat apa – apa. Ya Allah bantulah aku dalam urusan cinta kali ini. Mekarkanlah bunga cinta di dalam dadanya. Aku ingin di situlah tempat yang selama ini aku cari.

Mas Maulana menatap lekat. Aku melihat keteduhan sorot mata bersinar rembulan. Semakin melayang saja hasrat dalam tubuhku. Aku tak bisa menjawab iya pada mas Maulana. Raut wajahku mungkin sudah mewakili jawabanku saat ini. Merah merona merata ke seluruh permukaan wajahku. Tak kusadari aku menganggukkan kepalaku sambil tersipu malu. Dan akupun tersenyum membalas senyuman mas Maulana. Lama – lama aku tertawa kecil. Mas Maulana mengikuti tawaku juga. Mungkin tawa lelucon cinta yang malu – malu menyampaikan pesan hati.

Aku begitu bahagia malam ini. Di bawah rintik hujan berlindung payung yang hampir sama warnanya. Merah hati dan merah jambu. Menyatukan aku dan mas Maulana mendekat riang mengutarakan rasa yang terselip dalam hati. Hujan di baturaden yang dingin kini serasa hangat dengan kebersamaanku berjalan menapaki setiap ruas jalan berdua bersama mas Maulana. Semakin cair kebekuan darinya. Tertawa dan bercanda begitu menyenangkan.

No comments:

Post a Comment