Thursday, December 1, 2016

Impianku Seluas Lumpur

Impianku Seluas Lumpur

Pagi ini tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya, aroma yang khas itu masih ada. Aku sebut khas karena aroma itu bak pedang yang menusuk tubuh. Memang aromanya menusuk, menusuk indra penciuman dan jangan bayangkan baunya seperti masakan di hotel-hotel bintang lima. Baunya seperti kentut lebih tepatnya seperti bau belerang. Padahal aku berharap ada perubahan pada pagi ini.

Aku tinggal disini, di sebuah kota yang ramai, sibuk dan tentu saja ada lautan lumpur yang baunya luar biasa. Sebelumnya kotaku tak seperti ini, kotaku luas, tak berlumpur dan penduduknya pun tak mudah naik darah seperti sekarang.

Setiap sore aku bermain layang-layang di tepi tanggul, anginnya cukup kencang, layang-layangku terbang tinggi. Namun kali ini aku tak beruntung, layang-layangku putus dan lenyap seketika ditelan lumpur yang berbuih. Itu tandanya aku harus pulang ke rumah karena senja telah tiba. Sebenarnya rumahku tak jauh dari tempatku bermain layang-layang tadi, tapi lagi-lagi gara-gara ada lumpur lumpur yang semakin meluas maka kami sekeluarga harus pindah.

Suatu hari bapak terlihat sangat marah, bukan karena aku nakal juga bukan karena bertengkar dengan ibu. Awalnya aku tak tahu apa sebabnya, tapi kata ibu bapak marah karena masalah keadilan. Aku semakin tak mengerti maksud dari perkataan beliau, mungkin karena aku belum cukup umur. Setelah aku keluar rumah tampak dari jauh barisan orang-orang dengan teriakan lantang, berapi-api sama seperti bapak tadi. Aku ingin mendekat ke dalam kerumunan orang-orang itu tapi ibu melarangku serta belum pantas anak seusiaku menonton hal-hal seperti itu. Aku lantas berpikir, apakah keadilan itu dapat menghalangi cita-citaku? Apakah keadilan dapat menghilangkan lumpur dan dapat membuat bapak tak marah-marah?. Ah, entahlah itu masalah orang dewasa.

Hari ini aku mendapatkan pertanyaan yang mengejutkan dari guruku begini pertanyaannya, “Amir, menurutmu cita-cita itu bagaimana?” Aku terdiam sejenak lalu menjawab, “Cita-cita itu bagai pensil, jika kita ingin meraihnya maka kita harus berusaha dan bekerja keras seperti halnya meraut pensil agar menjadi runcing. Namun jika kita tidak bersungguh-sungguh maka kesempatan kita semakin kecil bahkan pupus seperti pensil yang semakin hari semakin pende bahkan hilang.” Tapi yang jadi pertanyaan apakah aku bisa menggapai cita-citaku itu? Aku merasa dihalangi oleh alam karena alam telah mengirimkan lumpur yang membuat sebagian kehidupanku tak tertata. Aku putus asa dan agaknya aku mulai tertular penyakit yang menggerogoti masyarakat kotaku, tentunya penyakit naik darah.

Sore harinya bapak juga bertanya mengenai cita-cita padaku tapi ini pertanyaannya berbeda. Beliau bertanya seberapa tinggikah cita-cita yang aku inginkan, tentu saja aku langsung menjawab, “Tentu saja setinggi langit pak!” Namun beliau malah tertawa, aku heran dengannya padahal kan jawaban itu betul. Bapak lalu berkata, “Mir, bapak beri tahu ya cita-cita setinggi langit itu hanya pepatah yang omong kosong. Kalau untuk anak-anak lumpur sepertimu cocoknya adalah cita-cita itu seluas lumpur.” Aku dibuat bingung dengan omongan bapak, lalu bapak melanjutkan lagi, “Lihat lumpur yang menenggelamkan rumah kita makin hari makin meluas, makin tinggi. Bisa-bisa jadi lautan! Jadi menurut bapak membuat kata-kata penyemangat itu yang sesuai dengan fakta sajalah!” Aku langsung berlari menuju rumah lamaku yang sudah tak tampak karena terendam lumpur. Disini aku merenung, merenungkan perkataan bapak dan akhirnya aku setuju dengan beliau.

Entah sampai kapan lumpur ini akan meluap, entah seluas apa lagi lumpur ini menggenang tetapi aku akan selalu berusaha mengembangkan sayap-sayapku, menunjukkan pada dunia meskipun aku hanya sosok anak lumpur dan aku akan menunjukkan bahwa cita-citaku seluas lumpur.

No comments:

Post a Comment